Selasa, 07 Desember 2010

PEMBAGIAN LINGKUNGAN HUKUM ADAT MENURUT VAN VOLLEN HOVEN

Tugas Hukum Adat :
1.        Bagaimana Pembagian Lingkungan Hukum Adat menurut Van Vollen Hoven ?

PEMBAGIAN LINGKUNGAN HUKUM ADAT MENURUT  VAN VOLLEN HOVEN
Van Vollen Hoven membagi lingkungan hukum  adat menjadi 19 lingkungan hukum adat (Rechtskringen). Satu daerah dimana garis-garis besar, corak dan sifatnya hukum adat adalah seragam oleh Van Vollen Hoven disebut “rechtskring”.  Tiap-tiap lingkaran hukum tersebut dibagi lagi kepada beberapa bagian yang disebut dengan “Kuburan Hukum” atau “Rechtsgouw”. Kesembilan belas lingkaran hukum adat itu ialah :
1.        Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeulue).
2.        Tanah Gayo, Alas, dan Batak.
1.    Tanah Gayo (Gayo Leus).
2.    Tanah Alas.
3.    Tanah Batak (Tapanuli).
a.    Tapanuli Utara:
1.    Batak Pakpak (Barus).
2.    Batak Karo.
3.    Batak Simelungun.
4.    Batak Toba (Simsir, Balige, Laguboti, Lumban, Julu).
b.    Tapanuli Selatan:
1.    Padang Lawas (Tano Sepanjang).
2.    Angkola.
3.    Mandailing (Sayurmatinggi).
3.    Nias (Nias Selatan).
4.    Tanah  Minagkabau ( Padang, Agam, Tanah Datar,  Lima puluh Kota, Tanah Kampar, Kerinci). Mentawai (Orang Pagai).
5.    Sumatera Selatan.
a.    B engkulu (Rejang).
b.    Lampung ( Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulang Bawang).
c.    Palembang (Anak Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo).
d.   Jambi (Batin dan Penghulu).
e.    Enggano.
6.        Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri. Sumatera Timur, Orang Banjar).
7.        Bangka dan Belitung.
8.        Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan).
9.         Gorontalo (Bolaang Mangondow, Boalemo).
10.     Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree. Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai).
11.     Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makassar, Selayar, Muna).
12.     Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula).
13.     Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Bandar, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar).
14.     Irian.
15.     Kep. Timor (Kepulauan Timor - Timor, Timor Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Riti, Sayu Bima).
16.    Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa).
17.    Jawa Pusat, Jawa Timur, serta Madura ( Jawa Pusat, Kedu, Puworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura).
18.    Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta).
19.    Jawa Barat (Pariangan, Sunda, Jakarta, Banten).



2.        Beri Komentar atau uraian saudara tentang Pembagian Lingkungan Hukum Adat tersebut, dengan sebuah kesimpulan bahwa Pembagian Lingkungan Hukum Adat tersebut masih relevan dengan keadaan sekarang atau tidak relevan lagi!

Untuk pembagian Lingkungan Hukum Adat menurut Van Vollen Hoven tersebut jika dihubungkan atau dikaitkan dengan keadaan sekarang ini sudah tidak relevan lagi karena pada saat ini lingkungan hukum adat tersebut sudah tidak murni lagi. Hukum adat akan tetap berlaku jika masih di taati oleh masyarakat adat tersebut, jika tidak ada yang mentaati maka hukum adat tersebut tidak menjadi hukum lagi dan lama-lama akan hilang. Sedangkan pada saat ini lingkungan hukum adat sudah mulai pudar dengan adanya modernisasi atau semakin berkembangnya pola masyarakat yang ada sehingga mereka lebih condong untuk menggunakan hukum nasional. Tetapi lingkungan hukum adat yang ada tidak serta merta di hapuskan karena di dalam UUD 1945 hukum adat tetap diakui sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Hukum adat sekarang lebih dianggap sebagai budaya pluralis atau kekayaan budaya Indonesia yang terkenal dengan beragam suku bangsa tetapi tetap satu berasaskan nasionalisme. Tetapi dalam kasus-kasus tertentu kita juga bisa menggunakan hukum adat sebagai salah satu cara penyelesaian yang di dalam hukum adat lebih mengutamakan asas musyawarah. Hukum adat di Indonesia masih banyak berlaku di daerah-daerah tertentu yang disebutkan oleh Van Vollen Hoven tersebut masih sangat di taati, tetapi untuk generasi mudanya yang mulai banyak mengenyam pendidikan dan mulai berpikir realistis maka bisa ada kemungkinan bahwa hukum adat lama kelamaan akan hilang atau tidak berlaku lagi. Pemerintah sebaiknya memberikan perlindungan terhadap hukum adat tersebut supaya hukum adat tersebut tetap ada, karena kadang – kadang masyarakat lebih mengatakan bahwa hukum adat adalah cara-cara yang baik untuk penyelesaian sebuah perkara atau permasalahan. Pada masyarakat adat cenderung lebih memikirkan tentang kebutuhan social yang selalu mendahulukan kepentingan bersama, adanya asas gotong royong, musyawarah untuk mencapai kesepakatan. Memang kelihatannya dengan pembagian lingkungan hukum adat diatas seolah-olah bahwa hukum di Indonesia terkotak-kotak, padahal memang seperti itu lah Indonesia yang mengadopsi beberapa hukum, seperti hukum Eropa Kontinental, Anglo America dan Hukum Adat sebagai hukum asli orang Indonesia. Bangsa Indonesia mempunyai banyak suku, budaya dan kebiasaan yang menjadi kekayaan Indonesia, tetapi kadang-kadang kita melihat bahwa apa yang kita punya tidak kita jaga atau dilestarikan sebagaimana mestinya sehingga budaya kita diakui oleh Negara lain.

Kesimpulan :
Bahwa hukum adat harus tetap dipertahankan sepanjang tidak bertentangan dengan Undang undang, kesusilaan dan ketertiban umum, karena hukum adat merupakan salah satu sumber hukum nasional kita. Kalau bisa harus di buatkan undang undang yang mengatur tentang pemberlakukan hukum adat di wilayah dimana hukum adat itu berlaku. Tidak bisa di pungkiri bahwa di Indonesia masih banyak orang – orang yang menggunakan hukum adat dalam penyelesaian masalah, terutama masyakat pedesaan. Untuk hukum adat, kebiasaan dan budaya Indonesia tolong di terapkan kepada jiwa-jiwa anak bangsa dari kecil supaya mereka yang belajar mulai saat kecil tersebut tumbuh rasa cinta terhadap tanah air yang penuh dengan kekayaan adat dan budaya yang ada.

KONTRIBUSI HUKUM ISLAM TERHADAP PERKEMBANGAN HUKUM NASIONAL


I.         Pendahuluan
Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia, tentu sangat berpengaruh terhadap pola hidup bangsa Indonesia. Perilaku pemeluknya tidak lepas dari syari'at yang dikandung agamanya. Melaksanakan syari'at agama yang berupa hukum-hukum menjadi salah satu parameter ketaatan seseorang dalam menjalankan agamanya. Ada beberapa kata yang harus diberikan penjelasan dari judul di atas, yaitu: kontribusi, hukum Islam terhadap perkembangan hukum Nasional.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa kata "kontribusi" berarti sumbangan. Kamus bahasa Inggris (Oxford) menyebutnya dengan contribution, yang berarti act of contributing, perbuatan memberikan sumbangan. Menurut penulis, sumbangan yang dimaksud dengan kata tersebut pada umumnya bersifat immaterial.
Kata hukum yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab hukm yang berarti putusan (judgement) atau ketetapan (Provision). Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Sementara dalam A Dictionary of Law dijelaskan tentang pengertian hukum sebagai berikut
"Law is "the enforceable body of rules that govern any society or one of therules making up the body of law, such as Act of Parliament. "Hukum adalah suatu kumpulan aturan yang dapat dilaksanakan untuk mengatur/memerintah masyarakat atau aturan apa pun yang dibuat sebagai suatu aturan hukum seperti tindakan dari Parlemen."
Bagi kalangan muslim, jelas yang dimaksudkan sebagai hukum adalah Hukum Islam, yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber pada AIquran, dan untuk kurun zaman tertentu lebih dikonkretkan oleh Nabi Muhammad dalam tingkah laku Beliau, baik berupa ucapan, tindakan ataupun suatu keadaan tertentu yang lazim disebut Sunnah Rasul.
Sementara itu Rifyal Ka'bah mengemukakan bahwa hukum Islam adalah terjemahan dari istilah Syari'at Islam (asy-syari'ah al-lslamiyyah) atau fiqh Islam (al-fiqh a/- Islami). Syariat Islam dan fiqh Islam adalah dua buah istilah otentik Islam yang berasal dari perbendaharaan kajian Islam sejak lama. Kedua istilah ini dipakai secara bersama-sama atau silih berganti di Indonesia dari dahulu sampai sekarang dengan pengertian yang kadangkadang berbeda, tetapi juga sering mirip. Hal ini sering menimbulkan kerancuan-kerancuan di kalangan masyarakat bahkan di antara para ahli.
Kaidah-kaidah yang bersumber dari Allah SWT kemudian lebih dikonkretkan diselaraskan dengan kebutuhan zamannya rnelalui ijtihad atau penemuan hukum oleh para mujtahid dan pakar di bidangnya masing-masing, baik secara perorangan maupoun kolektif.
Nasional berarti bersifat 1) kebangsaan, 2) meliputi suatu bangsa. Dalam perjalanan Kodifikasi Hukum Nasional Indonesia, keberadaan hukum Islam sangat penting, selain sebagai materi bagi penyusunan hukum nasional, hukum Islam juga menjadi inspirator dan dinamisator dalam pengembangan hukum nasional. Hukum Islam sangat dekat dengan sosioantropologis bangsa Indonesia, sehingga kehadirannya dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat luas. Kedekatan sosioantropologis Hukum Islam dengan masyarakatnya menjadi fenomena tersendiri ditandai dengan maraknya upaya formalisasi pemberlakuan syari'at Islam di berbagai wilayah di Indonesia.
Sebagai Negara berdasar atas hukum yang berfalsafah Pancasila, Negara melindungi Agama, penganut Agama, bahkan berusaha memasukkan hukum Agama ajaran dan Hukum Agama Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana pernyataan the founding father RI, Mohammad Hatta, bahwa dalam pengaturan Negara Hukum Republik Indonesia, syari'at Islam berdasarkan AI-Qur'an dan Hadist dapat dijadikan peraturan perundang-undangan Indonesia sehingga orang Islam mempunyai sistem syari'at yang sesuai dengan kondisi Indonesia.  Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dalam salah satu konsiderannya menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945, dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Dalam hal ini sangat menarik untuk menyimak apa yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Bustanul Arifin, S. H. bahwa prospek hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional sangat positif karena secara kultural, yuridis dan sosiologis memiliki akar kuat. Menurutnya, Hukum Islam memiliki serta menawarkan konsep hukum yang lebih universal dan mendasarkan pada nilai-nilai esensial manusia sebagai khalifatullah, bukan sebagai homo economicus.

II.      Pembahasan
Sistem hukum yang mewarnai hukum nasional kita di Indonesia selama ini pada dasarnya terbentuk atau dipengaruhi oleh tiga pilar subsistem hukum yaitu sistem hukum barat, hukum adat dan sistem hukum Islam, yang masing-masing menjadi sub-sistem hukum dalam sistem hukum Indonesia.
Sistem Hukum Barat merupakan warisan penjajah kolonial Belanda yang selama 350 tahun menjajah Indonesia. Penjajahan tersebut sangat berpengaruh pada sistem hukum nasional kita. Sistem Hukum Adat bersendikan atas dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia, dan untuk dapat sadar akan sistem hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Kemudian sistem Hukum Islam, yang merupakan sistem hukum yang bersumber pada kitab suci AIquran dan yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad dengan hadist/sunnah-Nya serta dikonkretkan oleh para mujtahid dengan ijtihadnya. Bustanul Arifin menyebutnya dengan gejala sosial hukum itu sebagai perbenturan antara tiga sistem hukum, yang direkayasa oleh politik hukum kolonial Belanda dulu yang hingga kini masih belum bisa diatasi, seperti terlihat dalam sebagian kecil pasal pada UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Dari ketiga sistem hukum di atas secara objektif dapat kita nilai bahwa hukum Islamlah ke depan yang lebih berpeluang memberi masukan bagi pembentukan hukum nasional. Selain karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan adanya kedekatan emosional dengan hukum Islam juga karena sistem hukum barat/kolonial sudah tidak berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sementara hukum adat juga tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan hukum nasional, sehingga harapan utama dalam pembentukan hukum nasional adalah sumbangsih hukum Islam.
Hukum Islam memiliki prospek dan potensi yang sangat besar dalam pembangunan hukum nasional. Ada beberapa pertimbangan yang menjadikan hukum Islam layak menjadi rujukan dalam pembentukan hukum nasional yaitu:
1.    Undang-undang yang sudah ada dan berlaku saat ini seperti : UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU Pengelolaan Zakat, dan UU Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam serta beberapa undang-undang lain, baik yang secara langsung maupun tidak langsung memuat hukum Islam seperti UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang mengakui keberadaan Bank Syari'ah dengan prinsip syari'ahnya., atau UU NO. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang semakin memperluas kewenangannya, dan UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2.    Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih kurang 90 persen beragama Islam akan memberikan pertimbangan yang signifikan dalam mengakomodasi kepentingannya.
3.    Kesadaran umat Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari. Banyak aktifitas keagamaan masyarakat yang terjadi selama ini merupakan cerminan kesadaran mereka menjalankan Syari'at atau hukum Islam, seperti pembagian zakat dan waris.
4.    Politik pemerintah atau political will dari pemerintah dalam hal ini sangat menentukan. Tanpa adanya kemauan politik dari pemerintah untuk mengadopsi Hukum Islam maka cukup berat untuk menjadi bagian dari Tata Hukum di Indonesia.
Untuk lebih mempertegas keberadaan hukum Islam dalam konstalasi hukum nasional dapat dilihat dari Teori eksistensi tentang adanya hukum Islam di dalam hukum nasional Indonesia. Teori ini mengungkapkan bahwa bentuk eksistensi hukum Islam di dalam hukum nasional lndonesia ialah:
1.    Ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional lndonesia.
1.    Ada dalam arti kemandirian, kekuatan dan wibawanya diakui adanya oleh hukum nasional dan   diberi status sebagai hokum  nasional.
2.    Ada dalam hukum nasional dalam arti norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional lndonesia.
3.    Ada dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.

Bila dilihat dari realitas politik dan perundang-undangan di Indonesia nampaknya eksistensi hukum Islam semakin patut diperhitungkan seperti terlihat dalam beberapa peraturan perundangan yang kehadirannya semakin memperkokoh Hukum Islam:
(1)   Undang-Undang Perkawinan
            Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun '1974 No. Tambahan Lembaran Negara Nomer 3019).

(2)   Undang-Undang Peradilan Agama
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3400).
Kemudian pada tanggal 20 Maret 2006 disahkan UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agarna. Yang melegakan dari UU ini adalah semakin luasnya kewenangan Pengadilan Agama khususnya kewenangan dalam menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syari'ah.
Untuk menjelaskan berbagai persoalan syari'ah di atas Dewan Syari'ah Nasional (DSN) telah mengeluarkan sejumlah fatwa yang berkaitan dengan ekonomi syari'ah yang sampai saat ini jumlahnya sudah mencapai 53 fatwa. Fatwa tersebut dapat menjadi bahan utama dalam penyusunan kompilasi tersebut. Sehubungan dengan tambahan kewenangan yang cukup banyak kepada pengadilan agama sebagaimana pada UU No. 3 tahun 2006 yaitu mengenai ekonomi syari'ah, sementara hukum Islam mengenai ekonomi syari'ah masih tersebar di dalam kitab-kitab fiqh dan fatwa Dewan Syari'ah Nasional, kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES) yang didasarkan pada PERMA Nomor 2 Tahun 2008, tanggal 10 September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah, menjadi pedoman dan pegangan kuat bagi para Hakim Pengadilan Agama khususnya, agar tidak terjadi disparitas putusan Hakim, dengan tidak mengabaikan penggalian hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagaimana maksud Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah terdiri dari 4 Buku, 43 Bab, 796 Pasal.

(3)     Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Undang-Undang No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3832), yang digantikan oleh UU Nomor 13 Tahun 2008. UU pengganti ini memiliki 69 pasal dari sebelumnya 30 pasal. UU ini menitikberatkan pada adanya pengawasan dengan dibentuknya Komisi Pengawasan Haji Indonesia [KPHI]. Demikian juga dalam UU ini diiatur secara terperinci tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji [BPIH]. Aturan baru tersebut diharapkan dapat menjadikan pelaksanaan ibadah haji lebih tertib dan lebih baik

(4)   Undang-Undang Pengelolaan Zakat
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggaI 23 September 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).

(5)   Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh.
Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1999 No.172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.3893).

(6)     Undang-Undang Otonomi Khusus Aceh
Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 No. 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4134).

(7)   Kompilasi Hukum Islam
Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan hukum Islam. Keinginan itu akhirnya memunculkan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang saat ini telah menjadi salah satu pegangan utama para hakim di lingkungan Peradilan Agama. Sebab selama ini Peradilan Agama tidak mempunyai buku standar yang bisa dijadikan pegangan sebagaimana halnya KUH Perdata. Dan pada tanggal 10 Juni 1991 Presiden menandatangani Inpress No.1 Tahun 1991 yang merupakan instruksi untuk memasyarakatkan KHI.

(8)   Undang-undang tentang Wakaf
Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4459). Kemudian pada tanggal 15 Desember 2006 ditetapkanlah peraturan pemerintah Republik. Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Maksud penyusunan peraturan pelaksanaan PP ini adalah untuk menyederhanakan pengaturan yang mudah dipahami masyarakat, organisasi dan badan hukum, serta pejabat pemerintahan yang mengurus perwakafan, BWI, dan LKS, sekaligus menghindari berbagai kemungkinan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan yang berlaku.

(9)     Undang-Undang Tentang Pemerintahan Aceh
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, semakin menegaskan legalitas penerapan syariat Islam di Aceh. Syariat Islam yang dimaksud dalam undang-undang ini meliputi ibadah, al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syi'ar, dan pembelaan Islam. Di samping itu keberadaan Mahkamah Syar'iyah yang memiliki kewenangan yang sangat luas semakin memperkuat penerapan hukum Islam di Aceh. Mahkamah Syar'iyah merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di Aceh. Mahkamah ini berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang al-ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) tertentu, jinayah (hukum pidana) tertentu, yang didasarkan atas syari'at Islam.

10) Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998, menandai sejarah baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda duel system banking di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti bunga, dan sistem perbankan dengan peranti akad-akad 19 yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Apa yang dikemukakan di atas, memberi. angin segar bagi implementasi hukum Islam di Indonesia. Adanya kewenangan dan kepercayaan kepada Pengadilan Agama untuk memproses sengketa ekonomi syari'ah termasuk perbankan syari'ah seperti yang diamanatkan dalam UU NO.3 tahun 2006 harus ditanggapi serius oleh komponen Pengadilan Agama. Seperti yang dikemukakan Andi Syamsu Alam. Perkembangan ini berimplikasi luas di lingkungan Peradilan Agama. misalnya saja:
·           Penyiapan sumber daya manusia (SDM) menghadapi kewenangan barunya. ;
·           Penyiapan anggaran yang besar untuk pelaksanaan Diklat ;
·           Pengadaan buku-buku menyangkut Ekonomi Syariah dan lain-lain ;
·           Penyiapan konsep "Pendidikan dan Pelatihan" yang efektif bagi para Hakim Pengadilan Agama. ;
·           Tersedianya Calon Hakim dari kalangan Sarjana Syariah dan Sarjana Hukum yang siap pakai. ;
·           Orientasi dengan kalangan pakar ekonomi pada umumnya dan pakar ekonorni Syariah pada khususnya ;
·           Orientasi dengan para praktisi perbankan, terutama perbankan Syariah.
Dari beberapa undang-undang di atas semuanya telah rnendukung dan memperkokoh keberadaan hukum Islam di Indonesia. Hanya saja kepercayaan yang diberikan kepada lembaga-Iembaga Islam tersebut harus dilaksanakan secara baik, supaya tidak mengecewakan berbagai pihak termasuk umat Islam sendiri. Oleh karena itu, upaya yang harus dilakukannya adalah kewajiban / keharusan menerapkan tata kelola yang baik, yang mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan usahanya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 34 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, serta keharusan menerapkan prinsip kehati-hatian seperti disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) undang-undang yang sama. Kepercayaan besar yang diberikan kepada umat Islam dengan pemberlakuan kaidah-kaidah yang Islami haruslah disadari bahwa sebenarnya hal itu mempertaruhkan nama baik Islam sendiri, karena orang akan melihat wujud dan bentuk Islam lewat pelaksanaan hukum tersebut, baik atau tidaknya pelaksanaan kaidah-kaidah tersebut tentunya akan sangat terkait dan berimbas kepada umat Islam. Sikap akomodatif yang selama ini diberikan oleh negara kepada umat Islam seharusnya memacu umat Islam untuk membuktikan bahwa hukum Isiam tidaklah seperti yang dikhawatirkan banyak orang tentang kekejaman dan pengingkaran kepada hak asasi manusia, tetapi hukum Islam itu rahmatan lil alamin, menciptakan kedamaian dan kesejahteraan kepada umat manusia, tidak hanya bagi umat Islam sendiri, tetapi juga untuk umat lainnya, seperti yang pernah dipraktekkan Nabi Muhammad sewaktu membentuk negara Madinah. Pasal 14 undang-undang di atas menyebutkan " Warga Negara Indonesia, Warga Negara Asing, Badan Hukum Indonesia, atau Badan Hukum Asing dapat memiliki atau membeli saham Bank Umum Syariah secara langsung atau melalui bursa efek, menunjukkan bahwa Bank Umum Syariah berusaha mewujudkan rahmatan li al-Âlamîn.
Di samping beberapa undang-undang di atas ada tiga faktor yang menyebabkan hukum Islam masih memiliki peran besar dalam kehidupan bangsa kita. Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan, dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan unsur yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap menjadi bagian dari hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam dari berbagai negeri sehingga penerapan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai appeal cukup besar. Terkait dengan upaya tersebut dalam tulisan ini penulis ingin lebih fokus melihat sumbangan tradisi hukum Islam atau hukum fiqh dalam rangka pembangunan hukum nasional. Karena, hukum Islam (hukum fiqh) itu sendiri secara umum memang diakui sebagai salah satu sumber dalam rangka pembaruan hukum di Indonesia, selain hukum adat dan hukum barat. Bagaimana pun, hukum barat, hukum adat, maupun hukum Islam itu, mempunyai kedudukan yang sama sebagai sumber norma bagi upaya pembentukan hukum nasional.
Selain itu, secara sosiologis, kedudukan hukum Islam (hukum fiqh) itu sendiri di Indonesia, melibatkan kesadaran keagamaan mayoritas penduduk yang sedikit banyak berkaitan pula dengan masalah kesadaran hukum. Baik norma agama maupun norma hukum selalu sama-sama menuntut ketaatan. Apalagi, jika norma hukum itu disebandingkan dengan aspek hukum dari norma agama itu, akan semakin jelaslah keeratan hubungan antara keduanya. Keduanya sama-sama menuntut ketaatan dan kepatuhan dari warga masyarakatnya. Tahir Azhari mengatakan bahwa hukum Islam mengikat setiap individu yang beragama Islam untuk melaksanakannya, yang implementasinya terbagi dalam 2 perspektif, yaitu :
1)      Ibadah mahdlah, dan tanpa campur tangan penguasa kecuali untuk fasilitasnya
2)      Muamalah, baik yang bersifat perdata maupun publik, yang melibatkan kekuasaan negara.
Kontribusi baru dari hukum Islam terhadap hukum nasional adalah berupa kehadiran Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah melalui PERMA Nomor 02 Tahun 2008. Pasal 1 Perma tersebut menyatakan bahwa Kitab ini menjadi pedoman prinsip syari'ah bagi para Hakim dengan tidak mengurangi tanggung jawab Hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.
Selain karena alasan sosiologis dan alasan praktis-pragmatis di atas, keeratan hubungan antara ulama dan umara26 serta agama dan hukum, termasuk dalam dan untuk Hukum Pidana yang hendak diperbaharui itu, dapat pula dilihat secara filosofis-politis dan yuridis. Secara filosofis-politis, keeratan hubungan keduanya dapat dilihat dari perspektif Pancasila yang menurut doktrin ilmu hukum di Indonesia merupakan sumber dari segala sumber hukum. Di dalam Pancasila itu sendiri, agama mempunyai posisi yang sentral. Di dalamnya, terkandung prinsip yang menempatkan agama dan ke-Tuhanan Yang Maha Esa dalam posisi yang pertama dan utama. Demikian juga dengan tinjauan juridis, kedudukan agama dalam konteks hukum dan keeratan hubungan antara keduanya dijamin menurut Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan:
1)        "Atas berkat Rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia, menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
2.        Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa
3.        Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu
Untuk mewujudkan Hukum Islam dapat menjadi lebih prospektif dalam kodifikasi hukum nasional pada masa datang political will para legislator di tingkat pusat dan daerah rnerupakan prasyarat utama. Putusan-putusan Pengadilan/Hakim yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat yang islami turut berperan pula. Demikian pula halnya dengan peran akademisi dalam pengembangan dan penelitian yang dapat menunjang perkembangan hukum Islam di Indonesia. Dan yang juga tidak kalah pentingnya adalah peran para ulama, kyai yang mengajarkan dan tetap menyiarkan materi-materi hukum Islam kepada para santri serta jamaahnya yang tersebar di berbagai pelosok tanah air. Dalam buku-buku Tafsir disebutkan bahwa para legislator, yuris, pemerintah, dan ulama/akademisi, termasuk dalam makna uli al-amr, yang termasuk untuk ditaati sebagaimana perintah Allah dalam surat al-Nisa, ayat : 59.
Demikian beberapa argumen yang memberikan peluang kepada hukum Islam untuk berkembang dan layak dijadikan bahan pertimbangan dalam pcmbangunan hukum nasional, karena bangsa Indonesia perlu menformulasikan hukum sesuai dengan filsafat hukum Indonesia, sebab aturan hukum yang ada sekarang ini masih banyak yang merupakan warisan bangsa Belanda. Contohnya sistem Hukum Pidana yang kita berlakukan sampai saat ini merupakan warlsan Belanda yang diperuntukkan berlakunya terutama bagi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang terjajah. Pada waktu itu sistem hukum demikian sesuai dengan keadilan menurut versi penjajah. Setelah Indonesia merdeka tentu perlu ditinjau kembali dan kalau tidak sesuai dengan kebutuhan bangsa serta rasa keadilan kiranya tidak perlu dan tidak akan dipertahankan.

III.    Penutup
Perkembangan hukum Islam di Indonesia memiliki peluang yang sangat cerah dalam pembangunan hukum nasional, karena secara sosioantropologis dan emosional, hukum Islam sangat dekat dengan rnasyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Se!ain itu secara historis hukum Islam telah dikenal jauh sebelum penjajah masuk ke Indonesia.
Peluang bagi masa depan hukum Islam di Indonesia juga terbuka karena telah banyak aturan dalam hukum Islam yang disahkan menjadi hukum nasional, dan hal ini memperlihatkan bagaimana politicall will pemerintah yang memberikan respon dan peluang yang baik bagi hukum Islam. Dengan melihat realitas kedekatan, kompleksitas materi hukum Islam pada masa datang, peluang hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional akan lebih luas lagi. Demikian juga peran akademisi yang melakukan pengembangan dan penelitian yang konstruktif dapat menunjang perkembangan hukum Islam di Indonesia. Yang tidak kalah pentingnya adalah peran para ulama, kyai yang secara ikhlas mengajarkan dan tetap menyiarkan materi-materi hukum Islam kepada para santri serta jamaahnya yang tersebar di berbagai pelosok tanah air. Semua itu secara alami akan tetap menjaga keberadaan hukum Islam di Indonesia.

IV.    KESIMPULAN
1.    Hukum Nasional Indonesia akan berkembang menjadi hukum moderen yang lebih banyak berwujud hukum tertulis.
2.    Hukum Islam ( Khususnya al-qur’an ) cukup memuat ajaran, ketentuan dan norma hukum yang dapat dikontribusikan dalam pembentukan hukum nasional dalam berbagai bidang hukum.
3.    Untuk dapat dikontribusikan bagi hukum nasional perlu dilakukan pemikiran kembali makna normatif dari norma-norma hukum Islam       Al-qur’an khususnya agar dapat dimasukkan dalam perundang-undangan hukum nasional.
4.    Karena tujuan hukum islam adalah baik dalam artian tidak membeda-bedakan derajat seseorang dalam kehidupan, maka perlulah dipertimbangkan bahwa setiap peraturan harus dimasukkan adanya nilai-nilai hukum islam.


                                                     Daftar pustaka       

aroel-th2.blogspot.com
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), edisi ketiga, hal. 592.
AS Hornby, et. Al., OxfordAdvanced Dictionary of Current English, (edidi revisi), (london: Oxford University [t. th.], ed. I (1942), hal. 186-187.
HA.Hafizh Dasuki, Ensiklopedi Hukum Islam, PT Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, FIKIMA, 1997, hal. 571
Elizabeth A. Martin (editor) a Dictionary of Law, New York: Oxford University Press,· Fourth Edition, 1997, hal. 259
Ulasan berikut dikutif dan disarikan dari, Rifyal Ka'bah, , Hukum Islam di Indonesia, Buletin Dakwah, 19 Mei 2006.
Departemen Pendidikan Nasional, op. cit., hal. 775.
Ichtijanto, Pengembangan Teori berlakunya hukum Islam di Indonesia, dalam Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya cet. ke-2, 1994, hIm. 16-17.
M. Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan lainnya di Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 44.
(Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional (Bertenun dengan Benang-benang Kusut), Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1999), hal. 5 dan 11).
Muchsin, Ikhtisar Sejarah Hukum, Jakarta: BP IBLAM, 2004, hal .9-22
Bustanul Arifin, Transformasi Syariah ke dalam Hukum Nasional (Bertenun dengan Benang-benang Kusut), Jakarta : Yayasan Al-Hikmah, 1999), hal. 11-12.
Muchsin, Masa Depan Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: BP IBLAM, 2004, hal. 17-18.
14Iehtijanto, Pengembangan Teori berlakllnya hllkllm Islam di Indonesia, dalam Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya eet. ke-2 1994, hal. 137
BPIH disetorkan ke rekening Menteri melalui bank syariah dan / atau bank umum nasional yang ditunjuk oleh Menteri (Pasal 22).
Republika, Rabu 2 April 2008, hal. 5
Ahmad Kamil, M. Fauzan, Kilab Undang-undang Hukum Perbankan Dan Ekonomi Syari'ah, Jakarta: Kencana, 2007, hal. vi